Anggaran Kecil, KPA Merauke Tidak Bsa Melaksanakan Program

3 min read

MERAUKE, SUARA BENTARA | Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Merauke, Papua Selatan tidak dapat melaksanakan program/kegiatan yang telah disiapkan untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome – HIV/Aids di sana, lantaran alokasi anggaran dari pemerintah daerah untuk organisasi tersebut sangat kecil.

Sekretaris KPA Kabupaten Merauke, Damario Sriyono menyatakan bahwa anggaran untuk sekretariat KPA Merauke dari pemerintah daerah untuk Komisi Penanggulangan Aids Kabupaten Merauke ditahun ini sebesar Rp150 juta. Tahun sebelumnya, Pemkab Merauke mengalokasikan dana sebesar Rp200 juta.

Sriyono mengaku anggaran untuk pembiayaan pencegahan dan penanggulangan HIV-Aids dari Pemkab Merauke ke KPA dari tahun ke tahun terus berkurang. Tahun 2022, dana yang alokasikan sebesar Rp300 juta, di 2023 Rp200 juta, dan pada tahun ini kembali berkurang, yakni Rp150 juta.

“Tahun ini kami tidak bisa buat kegiatan atau program, karena kalau dilihat dari dana yang dialokasikan, KPA agak sulit melakukan kegiatan. Kami mendapat anggaran Rp150 juta, dan itu hanya cukup operasional sekretariat saja, tidak termasuk honor staf,” kata Sriyono, Selasa (2/4/2024).

Dia menjelaskan anggaran yang kecil itu menjadi kendala utama bagi KPA Merauke untuk melaksanakan program yang dapat menekan penyebaran HIV-Aids di sana. Pemerintah daerah juga sudah tidak memberikan dukungan anggaran kepada Yayasan Santo Antonius (Yasanto), yang merupakan salah satu yayasan lokal yang menjadi ‘tulang punggung’ penanggulangan HIV-Aids di Kabupaten Merauke.

“Dulu kita mengandalkan Yasanto sebagai tulang punggung penanggulangan HIV-Aids untuk perawatan dan dukungan, sekarang Yasanto sudah tidak bisa berjalan, sudah tidak mendapat dukungan dari pemerintah maupun lembaga donor, sehingga tidak aktif. Ini juga menjadi kendala kami,” ujarnya.

“Dukungan pemerintah dari sisi anggaran sangat minim. Untuk KPA sangat minim, lewat Dinas Kesehatan juga minim. Terus Yasanto juga sudah tidak aktif. Ini menjadi tantangan terbesar kami. Kami tetap membutuhkan perhatian pemerintah sebenarnya,” sambung dia.

Sriyono mengatakan kendati anggaran minim, pihaknya masih bersyukur karena ada dua LSM dari luar daerah, yakni Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Yayasan Pelangi Maluku yang berkontribusi mencegah penularan HIV-Aids di Kabupaten Merauke.

“Kalau Yayasan Pelangi Maluku mendorong kelompok LSL (Lelaki Suka Lelaki) untuk memeriksakan diri mereka. Sementara PKBI ini fokus pada kelompok pekerja seks jalanan. Kedua yayasan ini sangat membantu dalam pencegahan penyebaran HIV-Aids di Merauke,” katanya.

Sriyono menyebut setiap tahun angka kasus HIV-Aids di Merauke masih tinggi. Rata-rata setiap tahun itu ada 100 penderita. Untuk 2023 tercatat 107 kasus, dan di 2022 tercatat 126 kasus. Persoalan HIV-Aids di Merauke harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah dari sisi pembiayaan.

“Kalau misalnya 107 kasus dengan pembiayaan pengobatan satu bulannya Rp1 juta, berarti 107 juta. Dikali 12 bulan, bisa Rp1 miliar lebih. Nah pemerintah mau mengeluarkan biaya yang lebih banyak atau sedikit? Sebenarnya pencegahan lebih baik dari pada pengobatan,” tuturnya.

Damario Sriyono menambahkan penanggulangan HIV-Aids di Merauke seharusnya mengutamakan pencegahan dari pada pengobatan dan perawatan.

“Kalau ada kasus baru, berarti itu sudah masuk perawatan dan pengobatan. Itu biayanya justru lebih tinggi. Karena harus berobat seumur hidup, harus dapat dukungan dari tenaga medis yang mumpuni, mendapat dukungan dari tenaga konselor. Justru biayanya lebih tinggi. Jadi yang diharapkan itu, kita dapat melakukan pencegahan,” pungkasnya. (Nuel)

YANG MUNGKIN ANDA SUKA

+ There are no comments

Add yours