MERAUKE, SUARA BENTARA | Salah satu perusahaan tebu yakni PT Global Papua Abadi (GPA) diketahui telah mulai beroperasi di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Operasionalisasi perusahaan tebu ini menyusul kebijakan pemerintah pusat untuk melaksanakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada Gula pada 2027 dan Bioetanol.
Apakah sebelum menjalankan proyek ambisius ini, investor maupun pemerintah telah memenuhi hak-hak masyarakat adat selaku pemilik ulayat? Karena di sisi lain, masyarakat pemilik ulayat mengklaim bahwa PT GPA belum membuat perjanjian kerja sama secara tertulis atau kontrak lahan dengan mereka.
Salah satu pemilik Ulayat dari Kampung Bath, Sergius Kaize menyatakan bahwa belum ada pertemuan antara perusahaan dan pihak pemilik hak ulayat untuk menyepakati nilai kontrak lahan yang akan dipakai perusahaan sekaligus membuat perjanjian tertulis.
Sergius Kaize mengatakan pertemuan antara perusahaan dan pemilik ulayat terjadi beberapa tahun silam, sekitar 2012 lalu. Saat itu perusahaan memberikan tali asih Rp2 miliar lebih kepada tujuh marga pemilik hak ulayat. Hal terkait kontrak lahan dan tanggung jawab perusahaan kepada pemilik ulayat masih sebatas pembicaraan lisan, belum secara tertulis.

“Saat itu perusahaan minta jangka waktu kontrak 35 tahun, tapi akhir-akhir ini kami pemilik ulayat maunya hanya 25 tahun. Kami juga belum duduk lagi untuk membicarakan itu. Kami memang diberikan uang Rp2 miliar lebih pada 2012, tapi itu tali asih, bukan uang kontrak lahan. Untuk kontrak per meter atau hektarnya itu belum ada pembicaraan,” kata Sergius kepada wartawan, Jumat (17/5/2024).
Terkait kontrak atau perjanjian, kata Sergius Kaize, pihaknya minta agar perusahaan membuat perjanjian kerja sama dalam bentuk tugu. Dan tugu tersebut harus dibangun di kampung-kampung pemilik ulayat, termasuk di areal operasional perusahaan.
“Kami mau itu perjanjiannya tidak hanya tertulis di kertas, tapi dibuat dalam bentuk tugu yang mana ada perjanjian tertulis di situ. Kami minta tugunya dibangun di Kampung Bath, Wapeko, Senayu, Salor, Jagebob, Sermayam serta di lokasi perusahaan,” ujarnya.
Sementara Ketua Adat Wilayah Sosom, Kasimirus Wandri Kaize menyebut lahan tujuh marga itu seluas 180 ribu hektare. Namun yang dipakai perusahaan sekitar 150 ribu hektare, karena harus dipilah-pilah terkait tanah sakral dan rawa-rawa untuk tidak digunakan sebagai kebun tebu.
“Tujuh marga itu Kaize, Ndiken, Samkakai, Gebze, Mahuze, Balagaize dan Basik-Basik. Kami juga minta supaya kali-kali yang ada tidak dibuat menjadi drainase buatan, biarkan itu sesuai alamnya dan menjadi sumber kehidupan,” kata Kasimirus Kaize.
“Hari ini pas menteri datang, kami diundang ke sini untuk membicarakan berbagai hal (soal hak ulayat, perjanjian/kontrak), tapi saya heran kenapa tidak semua marga hadir. Yang hadir ini baru kami saja” tutupnya.
Untuk diketahui, sementara ini lahan tebu yang dikelola PT Global Papua Abadi seluas 506 hektare dengan nilai investasi Rp53.8 Triliun. Lokasi perkebunan berada di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. (Nuel)
+ There are no comments
Add yours