Peringkat Kebebasan Pers Indonesia di Dunia Tergolong “Sulit”, Secara Nasional “Cukup Bebas”

5 min read

MERAUKE, SUARA BENTARA | Peringkat Indeks Kemerdekaan Pers atau IKP Indonesia di dunia berdasarkan hasil survei Reporters San Frontieres/Reporters Without Borders tahun 2024 berada pada posisi 111 dari 180 negara. Lembaga yang melakukan survei ini menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam kategori “sulit”, dengan catatan di antaranya terdapat sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan gangguan/penghalangan terhadap pekerjaan jurnalistik.

Sementara nilai IKP secara nasional berdasarkan hasil survei Dewan Pers dalam lima tahun terakhir rata-rata pada posisi di atas 70, yang mana dikategorikan “cukup bebas”.

Kelompok Kerja Bidang Hukum Dewan Pers, Dian Andi Nur Aziz mengatakan Dewan Pers bersama lembaga kajian sepanjang 2015-2023 telah sepuluh kali melakukan survei IKP pada 38 provinsi di Indonesia. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran komprehensif soal kemerdekaan pers secara nasional. Survei awal melibatkan 13 provinsi, kemudian bertambah setiap tahunnya hingga dilakukan di 38 provinsi pada 2024.

“Hari ini adalah hari terakhir dari 38 provinsi yang sudah dikumpulkan datanya. Hari ini dilakukan survei untuk provinsi terakhir, yakni Papua Selatan dan Papua Tengah,” kata Aziz dalam diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD) survei IKP tahun 2024 secara daring melalui zoom meeting, Kamis (15/8/2024).

Dewan Pers menggelar survei IKP 2024 melalui PT Multi Utama Risetindo sebagai pelaksana kegiatan survei. Kajian kemerdekaan pers di Papua Selatan melibatkan tujuh informan ahli, yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, humas kepolisian, perusahaan media, organisasi media dan jurnalis lokal. Dalam survei tersebut, ada 20 indikator dengan 62 pertanyaan yang harus dijawab dan dijelaskan oleh informan ahli.

“Informan ahli yang terpilih sesuai dengan kapasitas yang dapat mewakili masing-masing klaster, yaitu dari pemerintahan, dunia usaha dan civil society. Bapak ibu adalah orang-orang terpilih yang menurut kami sangat tepat untuk mewakili atau menjadi lensa bagi dewan pers untuk melihat dan mengukur situasi pers di Papua Selatan,” katanya.

Aziz menyebut nilai IKP secara nasional pada 2022 adalah 77,88, kemudian turun sekitar 6 poin atau nilainya menjadi 71,57 di 2023. Namun demikian akumulasi nilai IKP ini belum termasuk Provinsi Papua Selatan dan daerah otonomi baru lainnya, karena belum dilakukan survei di sejumlah provinsi baru.

“Artinya pers dari sisi pendirian berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999, semua orang bebas mendirikan pers. Proses pendiriannya juga mudah, sehingga jumlah semakin bertambah. Di sisi lain, cukup bebas itu artinya masih ada catatan di beberapa hal. Antara lain soal independensi, misalnya pengaruh kelompok kepentingan yang kuat dan independensi dari ketergantungan ekonomi,” kata dia.

“Faktanya, ada beberapa media yang masih menggantungkan diri pada bantuan-bantuan atau program-program kerja sama dan iklan dari Pemda. Hal ini yang kemudian mempengaruhi skor dalam kategori cukup bebas. Peringkat IKP Indonesia secara global, kami mengacu pada hasil survei Reporters San Frontieres/Reporters Without Borders ” sambung Aziz.

Dia menjelaskan survei IKP berangkat dari kenyataan bahwa pers memiliki peran yang tidak bisa diganti oleh media sosial atau para pihak. Pers menjadi saluran informasi, membangun agenda setting dan membangun opini publik. Pers menjadi sarana berbagai perspektif, dan sebagai lembaga kontrol sosial dan politik. Banyak kritik atau hal yang dilakukan pers, termasuk meneruskan aspirasi masyarakat agar didengar pelaku kepentingan, pemerintah dan negara.

Jurnalis senior di Papua Selatan, Frans Kobun. – SB/Ist

Kemerdekaan Pers bagian dari HAM

Anggota Dewan Pers, Dian Andi Nur Aziz menyatakan bahwa media arus utama yang berperan penting sebagai alat kontrol sosial dan penyalur informasi yang terverifikasi, membutuhkan kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), bagian dari hak warga negara untuk mendapatkan dan menyalurkan informasi.

“Untuk mendukung peran pers, kita memerlukan ukuran terkait kemerdekaan atau kebebasan pers dari tahun ke tahun. Sehingga dilakukan survei IKP dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor atau hal-hal yang menghambat pers. Dari survei ini kita Jadi survei ini mau melihat potret riil tentang kemajuan dan hambatan pers di setiap provinsi,” kata Aziz.

Dia menambahkan, ada tiga hal terkait kemerdekaan pers yang akan dipotret, yakni aspek sosial politik, ekonomi dan hukum yang mempengaruhi eksistensi pers.

“Pers ini tidak berdiri di ruangan yang hampa. Jadi ada konteks sosial politik, ekonomi dan hukum yang mempengaruhinya. Tiga hal inilah yang akan diukur dan dikaji dalam kaitannya dengan keberadaan pers,” ujarnya.

Salah satu jurnalis senior di Papua Selatan, Frans Kobun menyatakan intervensi terhadap pers masih cukup dirasakan, baik oleh jurnalis maupun perusahan media di sana. Intervensi datang dari para pihak, yang merasa tidak puas dengan pemberitaan atau informasi yang disajikan oleh pers. Menurut dia, intervensi para pihak ini dikarenakan para pihak belum memahami kerja-kerja jurnalistik.

“Kami dalam menyajikan informasi tentunya berpedoman pada 11 kode etik jurnalistik yang mana di antaranya menyangkut akurat, berimbang dan obyektif. Memang harus diakui bahwa intervensi terhadap pers itu masih ada di Papua Selatan. Ini karena para pihak belum cukup memahami kerja-kerja pers,” kata mantan wartawan Jubi itu.

Owner media Surya Papua itu menambahkan, kehidupan pers lokal masih cukup bergantung dengan pemerintah di daerah melalui kerja sama pemberitaan (advetorial) dan iklan. Namun demikian, Frans Kobun menegaskan bahwa hal itu tidak menjadi aspek yang mempengaruhi kebijakan redaksi. Pemberitaan menyangkut kepentingan publik tetap dikedepankan, seperti masalah kesehatan, pendidikan dan sektor lainnya yang memang harus dikontrol dan disampaikan oleh pers agar dapat dibenahi.

Salah satu jurnalis di Merauke, Ernes Kaki Sina. – SB/Ist

Jurnalis lainnya, Ernes Kakisina berharap Dewan Pers sebagai lembaga yang menaungi pers dapat benar-benar menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, terutama melindungi kemerdekaan pers, mendorong pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

“Dan juga kut membantu atau mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan. Termasuk mendorong perusahaan media untuk mensejahterakan pekerja jurnalisnya,” kata Ernes.

Dalam kesempatan itu, Ernes meminta pemerintah pusat dapat mengkaji kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Yang mana ada sejumlah pasal di dalamnya yang dinilai mengekang dan mengancam kebebasan pers. Pemerintah juga perlu membuat regulasi, baik itu berupa peraturan presiden, keputusan presiden atau pun menteri yang menjamin kemerdekaan pers serta menjamin perlindungan kepada jurnalis.

“Untuk pemerintah daerah kita harapkan dapat mendukung kerja-kerja pers terutama menyangkut kepentingan publik. Pers sebagai pilar ke empat demokrasi, harus mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari pemerintah maupun para pihak, sehingga pers dapat bersikap independen dalam melaksanakan fungsi dan peran secara baik dan benar,” ujarnya.

Penulis : Emanuel Riberu

YANG MUNGKIN ANDA SUKA

+ There are no comments

Add yours